Thursday, January 3, 2008

Tiara


Tiara, biasa aku dianggil. Aku akan berusia 16 tahun bulan Februari 2008 ini. Aku telah terpisah dari ibuku sejak aku balita. Ibu tinggal di Badung. sementara aku besar bersama Nenek dan Ayahku di Palembang. Namun aku bisa menikmati kasih sayang yang ,melimpah dari nenekku. Aku tidak merasa sepi dan sedih meski besar tanpa kehadiran Ibu di sisiku. Aku melewati hari-hariku dengan gembira. Tiada hari tanpa keceriaan dan kegembiraan. Kawan-kawanku juga banyak dan membantuku melewati keadaan yang berat itu. Sampai kemudian keadaan mulai berubah ketika satu tahun yang lalu nenekku sakit.
Setiap pulang sekolah aku langsung ke rumah sakit untuk menemani nenekku tersayang melewati hari-hari perawatannya. Aku belum bisa memahami apa yang bakal terjadi. Tapi aku mulai khawatir jika ditinggla nenek. AKu akan kesepian. Ayahku kurang peduli terhadap perkembanganku.
Ketika akhirnya nenekku menghembuskan nafasnya, aku benar-benar merasa sendirian. Bersamaan aku harus menyelesaikan sekolahku. Aku akan mengahiri masa-masa SMPku.
Berat aku lewati hari-hari ujian kahirku. Meski akhirnya aku bisa menyelesaikan dengan lancar.
Selesai sudah hari-hariku bersama kawan-kawan satu sekolah. Mereka melanjutkan pendidikan pada sekolah ynag berbeda-beda. Aku sendiri tidak bersemangat melanjutkan sekolahku. Sepeninggal nenek aku tidak punya semangat melanjutkan sekolah lagi. Karena hanya nenek ynag selama in memberi aku semangat.
Entah kenapa Ayahku tiba-tiba perhatian pada sekolahku. Dia membujukku untuk melajutkan sekolah. Dia merayuku untuk sekolah di luar negeri.
Awalnya aku tidak tertarik. Tapi kemudian aku mulai memikirkan tawaran ayahku untuk sekolah di Malaysia. Akupun menyetujui ide tersebut.
Pada hari ynag telah diatur oleh ayah, dia menyiapkan semuanya untuk berangkat ke Malaysia. Dan tanpa aku sadari ternyata ayah punya rencana lain. Warisan rumah, mobil dan harta berharga lainnya yang semuanya diatas namakan aku rupanya menjadi incaran ayah. BAgitu aku mau berangkat, Ayah bilang bahwa aku tidak membutuhkan itu semua lagi. "Karena kau akan tinggal di Malaysia" begitu ujar ayah kala aku tanyakan kenapa semuanya dijual. "Lagi pula masih ada rumah ayah, siapa yang akan menempatinya kelak kalau bukan kamu" tambahnya pula. Dan aku tidak bisa menolak.
Pada Maret 2007 akhirnya kamipun berangkat ke Malaysia. Satu minggu di sana aku ditingal di rumah seorang diri. Ayah kembali ke Palembang demnga alasan ada dokumenku yang tertinggal. Aku tidak tahu harus bagaimana selama 5 hari ditinggal ayah. memeang semua keperluannku sudah disediakan. Dan aku hanya tinggal dalam rumah ditemani televisi.
Sekembalinya dari Palembang, aku merasakan perubahan pada sikap ayah. Perhatian ynag tiba-tiba muncul kembali menghilang. Bahkan bukan hanya tidak peduli. Ayah juga mulai bertindak kasar. Aku jadi sedih. Aku tidak tahu harus bagaimana. Berada terasing di negeri orang. tidak ada yang aku kenal.
Semakin lama sikap ayah semakin kasar. Tidak ada hari tanpa kemarahan ynag ditumpahkan ke aku. Dan sikapnya semakin menjadi setelah ayah beristri lagi. Bukan hanya omelan yang aku terima, pukulan juga sering mengiri marahnya.
Aku tidak tahan dengan ini semua. Akhirnya setelah sembilan bulan aku terkurung dalam rumah penuh siksa itu, aku nekad kabur pada tengah malam ketika ayahku sudah tertidur lelap. Bagitu aku keluar dari rumah itu ada perasan lega dan bahagia memenuhi ronggga dadku, juga ada rasa ragu dan bingung. Aku bingung harus pergi kemana. Aku tidak punya rencana harus kemana. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Dan dalam kebingunganku, ada seorang perempuan setengah baya yang melihatku kebingungan id tepi jalan. Dia menghampiriku. Dia mengajakku ke rumahnya. Awalnya aku takut. Tapi sikapnya yang tulus membuatku memberanikan diri untuk menerima ajakkannya. Dia juga menambahkan akan mengantarkan aku untuk proses kepulanganku ke Indonesia setelah dia tahu kenapa aku kebingungan di tepi jalan pada pagi-pagi buta itu.

No comments yet