Saturday, September 1, 2007

Perempuan.. Ibu..


Selalu ada yang muncul tiba-tiba ketika selesai membaca atau menonton. Masih tentang pementasan teater Nyi Ontosoroh. Selain ontososroh ada sosok peremuan lain yag menurutku menggambarkan sisi perempuan Pribumi (Indonesia) – khususnya Jawa sesuai latar kisah ini.

Ibu Sanikem dan Bunda Minke, perempuan sebagai ibu yang memahami siapa anaknya, apa yang terjadi dengan anaknya, apa yang diinginkan anaknya, apa yang baik bagi dan menurut anaknya. Juga istri seorang laki-laki yang melihat bahwa keputusan mutlak ada di tangannya. Istrinya tidak memiliki hak meski sekedar masukan atau komentar. Seperti apapun istri mengomentari hanya seperti dengungan tanpa arti.

Ibu Sanikem tahu kondisi dan kesiapan anaknya. Bahwa sanikem masih terlalu dini untuk menjalani rumah tangga, Sanikem masih ingin bercengkeramam dengan teman dan dunianya. Terlebih harus tinggal serumah dengan seorang suami yang menakutkan dalam persepsinya. Bagi ibunya, Sanikem berhak mendapatkan sosok laki-laki ynag lebih wajar dan layak sesuai keinginannya sendiri. Tapi dia tidak bias berbuat apa-apa. Omelannya tidak pernah digubris oleh suami. Dia harus tetap ikut mengantarkan Sanikem ke rumah Tuan Mellema.

Bunda minke kenal bagaimana karakter anaknya. Anak yang tidak mau berada dalam bayang-bayang bapaknya. Dia punya karakter sendiri, dan dengan itu bisa menjadi pribadi berwibawa. Jug atidak mau berada dalam kungkungan budaya yang tidak bisa dipahami apa alasannya harus seperti itu. Kenapa orang harus jalan membungkung , merendahkan diri sendiri untuk orang yang beum tentu baik. Belum tentu layak untuk mendapat penghormatan. Hanya karena orang itu duduk di kursi jabatan. Hanya karena orang itu keturunan bangsawan. Dan dia relakan Minke menjalani dan merajut dunianya sendiri. Tapi titah suami untuk tetap menaruh Minke sebagai putra yang akan di temaptkan pada jabatan tertentu tidak bisa dibantah sama sekali. Dia hanya bisa memberikan sapuan tangan lembhutnya ke kepala Minke untuk menenangkan hati dan jiwanya.

Jika ini adalah gambaran perempuan Indonesia. Meski aku tidak tahu ini hasil konstruksi budaya masyarakat atau memang bagian dari sisi psikologi yag given. Maka apa yang terjadi jika perempuan harus bekerja ke luar rumah, ke luar daerah, atau ke luar negeri menjadi buruh migrant. Apa yang terjadi jika dalam pikirannya dia harus tetap patuh dan menurut pada orang lain. Bahwa dia tidak punya hak suara. Bahwa dia harus mengikuti pemimpinnya–yang umumnya tidak peduli dengan orang lain, hanya tahu bahwa dia harus untung-punya uang lebih dan lebih banyak lagi, tapi tidak perlu nambah modal lagi.

Apa yang terjadi dengan suara-siuara para perempuan ini. Perempuan yang sebenarnya menjadi sandaran putra-putrinya. Perempuan yang selalu menjadi tempat mengadu segala keadaan yang terjadi pada anak-anaknya. Perempuan yang selalu menjadi harapan nasihat yang melegakan anak-anaknya. Dan perempaun yang tetap harus bisa menjamin kelangsungan hidup anak dan keluarganya dalam keadaan perekonomian seperti apapun. Ibu …

No comments yet