Tuesday, August 28, 2007

Ibu, perjuanganmu ...


Ada sensasi rasa mengalir di dada. Bukan kali pertama. Tapi selalu menimbulkan efek luar biasa. Aku baru keluar dari pagelaran teater ”Nyai Ontosoroh”. Seperti pijar menyebar. Menggoda otak, menggeragapi seluruh tubuh.

Sosok perempuan dengan kebijakan luar biasa. Ketika menggeluti ”Bumi Manusia”, sosok itu sudah mampu mengobarkan kekaguman dan semanat. Nyai Ontosoroh, perempuan yang keluar dari pakem masyarakat. Tapi mencipta pakem berdasar pengetahuan dan hati. Dan karena itu Ontosoroh memiliki pribadinya, berkarakter.

Berawal dari Sanikem. Gadis anak perangkat pabrik gula. Menjalani ritual dijual kepada tuan pengelola pabrik gula karena kegilaan ayahnya terhadap jabatan juru bayar. Kondisi yang umum dialami anak gadis disekitarnya. Menjadi pion kebiasaan masyarakat yang dianggap wajar. meski banyak yang berteriak menolak.

Sanikem tidak mengenal sekolah. Tidak bisa baca tulis. Sumur-dapur yang diketahui. Bahkan menginjak ruang tamu pun telah dilarang ayahnya karena takut digunjing tetangga sebagai perawan tua. Belum ada yang meminang. Dan usianya baru 12 tahun.

Setelah diajari baca-tulis oleh tuan Mellema – lelaki yang membelinya-, sanikem yang dulu pelan-pelan berkembang. Sebagai Nyai, dia harus bisa membantu tuannya mengelola kekayaan. Menjalankan pertanian. Dan kemampuan baca telah membantunya mengenal kebudayaan bangsa-bangsa. Kebudayan Eropa yang selalu diagungkan oleh pribumi lain menjadi bacaan pengantar tidur.

Membaca telah menjadikannya perempuan matang. Ibu yang tidak hanya melahirkan anak-anaknya, juga mendidik. Perempuan yang menopang tuannya. Terlebih setelah Mellema mengalami guncangan atas tudingan keji anak kandungnya sendiri.

Sosok Nyai Ontosoroh menjadi semakin jelas. Perempuan yang tidak mau selalu menjadi boneka keumuman masyarakatnya. Tapi memilih dan menjalani prinsipnya. Perempuan yang tidak terpuruk dengan “nasib” yang ditimpakan ayahnya. Tapi bangkit menjejali peluang mengembangkan diri. Perempuan yang tidak mau bergantung pada ”Tuannya”. Tapi mendidik diri menjadi mandiri, juga sandaran anak-anaknya.

Nyai Ontosoroh telah menjadi pengelola pertanian. Menyelesaikan urusan-urusan administrasi. Kemampuan yang belum tentu dimiliki oleh anak perempuan penggede pribumi. Bahkan anak gadis bupati sekalipun.

Ketika Annelisa-gadis kecil-nya telah mulai mengenal laki-laki, Minke, seorang siswa HBS (sekolah lanjutan yang hanya bisa dinikmati oleh orang belanda, indo atau pribumi putra pejabat). Nyai dengan lancarnya berdiskusi dengan Minke. Bahkan Minke mengakui kekuatan kharisma Nyai. Bukan karena kecantikan, penampilan atau dandanannya, meski Nyai memang cantik, tapi wawasannya yang tidak dapat diperoleh di bangku HBS.

Nyai yang belajar tentang Eropa, mampu keluar dari kungkungan keeropa-eropaan. Kebalikan Minke yang masih mengidolakan orang Eropa sebagai manusia tanpa cela. Nyai mampu bicara atas kedaulatan dirinya, manusia perempuan yang melahirkan Annelisa dari rahimnya. Eropa sebagai bangsa berbudaya telah melanggar kedaulatannya atas nama hukum. Kebudayaan mereka telah tergadai oleh kepentingan harta yang telah membayar hukum. Annelisa yang telah menikah secara Islam dengan Minke tidak diakui. Lagi-lagi atas nama hukum eropa yang berbudaya. Annelisa sebagai pribadi telah diinjak-injak oleh Eropa, begitu Nyai berbicara lantang.

Sementara Minke, masih silau dengan keagungan Eropa. Ragu harus bilang apa. Tidak bisa membaca penguasaan kepentingan harta yang melapisi hukum. Mengoyak rumahtangganya. Merebut istrinya.

Bahwa seorang perempuan desa, anak petani, tidak pernah mengenyam bangku sekolah bisa memiliki pemahaman akan apa yang menggerogoti dunianya, mampu menentukan sikap dan memberi solusi permasalahan yang dihadapi. Berteriak lantang atas kedaulatan diri yang dilanggar. Bahkan belum bisa dilakukan oleh seorang HBS.

Pada detik ini kerinduan menyeruak. Kala diri ini berada jauh. Usap tanganmu tidak lagi mengiring tidurku. Kesediaanmu mendengar di saat diri dalam dilema tak lagi kutemui. Kisah dan nasihat kiasan solusi, yang terkadang sederhana namun penuh kebijakan kini jarang kurasai. Sosokmu memenuhi ruang rinduku. Kekagumanku padamu ibu semakin membuncah. Tidak harus sama dengan Nyai Ontosoroh. Karena jamannya memang berbeda. Tapi perjuanganmu atas hidupmu dan hidupku semakin membuatku bersujud di hadapmu ibu . . .

No comments yet