Saturday, May 19, 2007

Mimpi itu ternyata masih jauh


Dengan perasaan letih tak terkira kuhirup udara bandara Sukarno Hatta. Aku dan sebelas orang lainnya memutuskan untuk pergi ke kantor redaksi harian Kompas, media yang kami harapkan dapat mambantu kami. Petugas di situ kemudian mengarahkan kami untuk menuju LBH Jakarta. Menurut mereka untuk pendampingan kami, lembaga bantuan hukum lebih mengerti.

Kepalaku masih pening ketika sampai di LBH Jakarta. Mungkin karena pengalaman-pengalaman ini begitu berat dalam usiaku yang masih muda ini, 21 tahun. Kondisi in berawal ketika tujuh bulan yang lalu datang seorang sponsor ke tempatku, Bojonegoro, sebuah kabupaten di Jawa Timur. Dia menawariku bekerja ke Qatar, negeri di Timur Tengah, dengan gaji yang menggiurkan sebagai buruh pabrik. Sebagai lulusan SLTA yang menganggur, aku pun tertarik. Bukan hanya aku, tapi kakak iparku serta 17 orang lainnya dari desaku ikut terbujuk rayuannya. Dengan biaya rata-rata tujuh juta per orang. Kami dibawa ke sebuah perusahaan tenaga kerja di Jakarta.

Setelah semua surat dan persyaratan lainnya selesai, kami menunggu proses pemberangkatan. Setelah tiga bulan, 12 orang termasuk aku diberangkatkan ke Qatar. Tujuh orang sisanya belum juga dapat kepastian kapan berangkat. Kami cukup bersyukur kala itu. Kami merasa semakin dekat dengan mimpi kami. Cukup gaji untuk mengumpulkan modal usaha. Sepulang dari sini aku berencana buka bengkel dan toko onderdil kendaraan bermotor.

Tapi mimpi itu ternyata masih jauh. Setiba di negeri tujuan, kami harus menunggu satu minggu untuk mulai bekerja pada perusahaan yang telah kami tandatangani kontraknya sewaktu di perusahaan tenaga kerja itu. Selanjutnya selama empat bulan kami bekerja. Gaji yang kami terima tidak sesuai dengan kontrak kerja kami. Awalnya ketika perwakilan kami menanyakan, pihak perusahaan hanya bilang yang penting kami bekerja dan digaji. Tidak perlu cerewet.

Mendengar itu kami jadi curiga. Bulan berikutnya kami pun menanyakan kembali. Perusahaan bersikap lebih lunak. Mereka menjanjikan gaji berikutnya akan dibayar sesuai kontrak. Tunggu punya tunggu akhirnya kami kembali menanyakan perihal gaji kami. Dengan percekcokan yang cukup sengit, bukan gaji penuh yang kami terima, tapi kami dikembalikan ke Indonesia!

Selama proses pemulangan kami mencoba mencari solusi bagi kondisi ini. Pemerintah sudah tidak bisa diharapkan. Mereka malah membantu perusahaan itu untuk kepulangan kami. Dan kini kami bertemu dengan teman-teman yang kurang lebih punya keinginan sama, mencari hak-hak kami yang telah diinjak-injak. Di Serikat Buruh Migran Indonesia kami mengais setiap peluang untuk memperoleh hak-hak kami, termasuk dengan jalur hukum.

No comments yet