Saturday, May 19, 2007

Hanna


Hanna. Kalian bisa memanggilku Hanna. Dua puluh tiga tahun lalu aku dilahirkan dengan penuh haru di sebuah desa kabupaten ujung timur pulau Jawa, Banyuwangi. Aku terlahir tanpa sempat merasakan kehadiran seorang ayah. Saat ibuku hamil enam bulan, Ayahku meninggal.

Hari ini terik matahari setia menyengat kulitku. Menjadikannya semakin sawo matang. Aku berjalan menuruni tangga kapal. Suasana perjalanan lalu masih terasa. Perjalanan dari Tanjung Pinang ke Tanjung Priok denagn kapal ekonomi cukup melelahkan. Terlebih dengan hadirnya Iman, bocah 20 bulan di pangkuan.

Akhirnya setelah tiga tahun aku kembali menjejakkan kaki di Indonesia. Tanah air yang aku tinggalkan demi mengisi perut, untuk bertahan hidup dan mimpi mengumpulkan modal usaha. Aku rela merantau ke negeri tetangga, Malaysia, dengan bekerja sebagai buruh bangunan.

“Pak De, bukannya lancang, Hanna cuma mau menanyakan tentang gaji Hanna yang selalu Hanna kirim dari Malysia selama tiga tahun ini. Hanna ingin buka usaha di sini.”

“Hanna, kami tahu kamu punya cita-cita bikin usaha, tapi kamu tahu kan kondisi ekonomi keluarga ini? Belum lagi semenjak kamu pergi Bu De-mu sakitnya tambah parah. Ya gajimu itu habis bayar biaya kamu berangkat kepada sponsor, sisanya beli obat Bu De-mu. Kalau untuk makan sekedarnya usaha Pak De masih bisa menutupi.”

Pucat kurasakan wajahku. Suara yang pelan itu terasa seperti petir menyambar. Aku terhenyak. Gajiku tiga tahun! Modal usahaku!

Percakapan tiga tahun lalu kembali menyapaku. Memang sedari kecil aku sudah biasa hidup susah. Setelah ibuku meninggal pada saat aku kelas 2 SD, aku ikut nenekku. Aku mulai membantu nenek bekerja dengan menitipkan kue-kue buatan nenek ke toko-toko di desaku. Itu aku lakukan sebelum aku berangkat sekolah. Pada sore hari, aku membantu menyiapkan kue-kue untuk keesokan harinya. Begitu seterusnya.

Sejak lulus SD aku harus ikut paman. Nenekku telah menyusul Ibu. Kondisi perekonomian paman yang juga pas-pasan, belum sepupu-sepupuku yang lebih kecil dan butuh sekolah, hanya memberiku kesempatan menikmati dua tahun pendidikan SMP. Dan dengan iming-iming gaji tinggi di negeri seberang, aku pun menjadi buruh migran.

Kesadaranku kembali ketika suara seorang petugas memberi petunjuk agar kami berkelompok sesuai daerah tujuan kepulangan. Kulangkahkan kaki mengikuti arah tujuan Kalimantan Barat, daerah asal suamiku, lelaki yang kukenal dua tahun lalu di Malaysia, yang memberiku kekuatan baru menjalani hidup.

Bulat tekadku untuk menata hidupku dan bertahan hidup di negeri ini. Cukup sudah enam tahun menjadi buruh migran di Malaysia. Suamiku akan tiba di Kalbar dua hari setelah kedatanganku. Setelah penangkapan RELA (petugas sipil yang diberi kewenangan menangkap tenaga kerja asing di Malaysia tanpa dokumen lengkap/mati) atas diriku, suamiku terus menghubungiku dalam setiap tahap deportasi ini dan mempersiapkan kepulangannya. Meski sebenarnya dia masih bisa tinggal satu tahun lagi. Mertuaku sudah beberapa kali menghubungiku, memastikan cucunya selamat, harapan baru hidup kami ..

No comments yet